Pages

Tuesday 10 April 2018

Apa cita-citamu?

Berbicara tentang cita-cita, masih ingat ga waktu kecil sering banget ditanya "cita-citanya apa?". Dulu saya jawabnya ikut-ikutan teman aja, "jadi dokter", karena saya ga paham banget mengenai konsep cita-cita waktu saya kecil dulu. Dulu mikirnya sebatas profesi keren dan diminati banyak anak, kaya polisi, dokter, guru, pilot. Jarang tuh saya denger ada yang ingin jadi kasir, penjual buku, pedagang sate. Ya kan? Ini karena profesi tersebut terlihat ga keren.

Cita-cita saya cuma ikut-ikutan temen yang ingin jadi dokter, padahal saya ga tertarik banget sama dokter. Bukannya yang namanya cita-cita itu berawal dari ketertarikan?

Sebenernya saya punya cita-cita waktu TK. Cita-cita saya adalah penjual nasi uduk. Iya, penjual nasi uduk. Dulu ketika tukang nasi uduk lewat depan rumah, saya merasa dia keren sekali.

Ibu nasi uduk berkeliling di kompleks di pagi hari. Dia bawa termos nasi berwarna merah. Tutup termosnya dilapisi serbet biar uap air ga jatuh lagi ke nasi ketika dibuka. Saat tutup nasinya dibuka, uap panas membumbung keluar dan aroma gurihnya semerbak. Ibu nasi uduk mencentong nasi dan ditaruh dipiring, ditaburi slice telur, tempe orek dan bawang goreng. Tak lupa diberi kerupuk dan sambal sebagai pelengkap. Kegiatan seperti itu yang membuat saya tertarik. Hal sepele yang dapat menyenangkan orang lain lewat nasi uduk.

Tapi saya tau, waktu dulu, orang lain ga semuanya bisa melihat sama dari sudut pandang saya. Malah ada yang meremehkan. Jadi mana pernah saya mengaku cita-cita saya adalah penjual nasi uduk saat TK. Kalau saya ngaku, yang ada jadi bahan tertawaan teman atau bahkan guru.

Beranjak remaja saya mulai suka membaca novel. Baca novel itu mengasyikkan, cuma kalo beli novel tiap bulan sepertinya terlalu boros. Jadi dulu saya bercita-cita jadi penjaga toko buku. Saya sukaaaa sekali ngeliat orang yang kerja di toko buku. Sepertinya enak, bisa curi-curi kesempatan sambil baca novel. Itu dulu yang ada dipemikiran saya.

Saya sempet bilang ke kakak kalo saya ingin jadi penjaga toko buku. Kakak saya langsung tertawa dan menganggap remeh saya. Dia langsung memberitahu ibu saya dan ibu pun reaksinya tidak berbeda. Dari situ saya belajar tidak perlu memikirkan cita-cita, toh apa yang diinginkan kebanyakan dianggap remeh oleh orang terdekat.

Saya pernah membaca novel TOTO-CHAN, Toto chan mengungkapkan kepada ibunya bahwa dia kalau sudah besar ingin jadi penjual karcis kereta. Ibunya tidak kaget, sepertinya dia akan mendukung cita-cita anak gadisnya. Bukankah itu yang kita perlukan untuk mewujudkan cita-cita?

Kalau dipikir sekarang, apa salahnya dengan pekerjaan tersebut? Cuma karena pekerjaan yang sepele dan tidak perlu sekolah tinggi, bukan berarti itu ga layak dijadiin cita-cita. Bukankah cita-cita itu angan-angan atau keinginan atau ketertarikan? Kalau itu ketertarikanku kenapa 'tidak boleh'?

Apa salahnya keluarga untuk menerima dulu cita-cita nya. Toh saat besar belum tentu dia ingin meneruskan cita-cita yang sama. Yang saya ingin tekankan di sini adalah dukungan moril buat si anak. Selama itu baik dan tidak melenceng dari koridor yang benar, dukung terus sambil diarahkan. Bukan semata-mata langsung dipatahkan depan mata. Yang ada anak berubah tanpa cita-cita.